Kamis, 05 Mei 2016

tugas 4



SATUAN WAKTU
Pada pembahasan waktu, kita mengenal adanya satuan yang menjadi dasar pengukuran. Dasar pengukuran waktu ini disebut sebagai satuan waktu. Satuan waktu ini memiliki ketetapan waktu yang sama diseluruh dunia, hal ini telah diatur oleh suatu badan internasional yang bertugas dalam menentukan dan menetapkan dasar pengukuran. Dasar pengukuran yang telah ditetapkan akan dimasukan kedalam standar dari sistem internasional atau yang lebih dikenal sebagai satuan SI. Standar satuan waktu dalam satuan SI yang pertama yaitu detik atau second. Detik atau second  adalah satuan waktu dalam SI (Sistem Internasional, lihat unit SI) yang didefinisikan sebagai durasi selama 9.192.631.770 kali periode radiasi yang berkaitan dengan transisi dari dua tingkat hyperfine dalam keadaan ground state dari atom cesium-133 pada suhu nol kelvin (wikipedia.org ). Atau detik yang biasa digunakan yaitu satu detik adalah 1/60 dari satu menit, dan 1/3600 dari satu jam. Satuan waktu yang ada saat ini yaitu :
Jangka waktu dari yang terbesar hingga yang terkecil :
1.      Milenium 
2.      Abad  
3.      Dasawarsa  
4.      Windu  
5.      Tahun  
6.      Wuku 

7.      Bulan (Triwulan · Caturwulan · Semester · Musim)
8.      Minggu (Pekan)
9.      Hari (tanggal)
10.  Jam
11.  Menit
12.  Detik

Sejarah
Istilah second pada mulanya dikenal sebagai second minute (menit kedua), yang berarti bagian kecil dari satu jam. Bagian yang pertama dikenal sebagai prime minute (menit primer) yang sama dengan menit seperti yang dikenal sekarang. Besarnya pembagian waktu difokuskan pada 1/60, yaitu, ada 60 menit di dalam satu jam dan ada 60 detik di dalam satu menit. Hal ini disebabkan oleh pengaruh orang-orang Babylonia, yang menggunakan hitungan sistem berdasarkan Seksagesimal (basis 60).
Pada pengukuran jam digunakan sistem duodesimal (basis 12). Hal ini didasarkan pada metode pembagian hari yang digunakan oleh peradaban kuno Mediterania. Sekitar tahun 1500 SM, orang-orang Mesir kuno menggunakan program bilangan berbasis 12, dan mereka mengembangkan sebuah program jam matahari berbentuk seperti huruf T yang diletakkan di atas tanah dan membagi waktu antara matahari terbit dan tenggelam ke dalam 12 bagian. Para ahli sejarah berpendapat, orang-orang Mesir kuno menggunakan program bilangan berbasis 12 didasarkan hendak total siklus bulan dalam setahun atau dapat juga didasarkan hendak banyaknya jumlah sendi jari manusia (3 di tiap jari, tidak termasuk jempol) yang memungkinkan mereka berhitung hingga 12 menggunakan jempol.
Jam matahari generasi berikutnya sudah sedikit banyak merepresentasikan apa yang sekarang kita sebut dengan “jam”. Sedangkan pembagian malam menjadi 12 bagian, didasarkan atas pengamatan astronomi Mesir kuno tentang adanya 12 bintang di langit pada pada malam hari. Dengan membagi satu hari dan satu malam menjadi masing-masing 12 jam, maka dengan tidak langsung konsep 24 jam diperkenalkan. Namun demikian panjang hari dan panjang malam tidaklah sama, tergantung musimnya (contoh: sejak musim panas hari lebih panjang dibandingkan malam). Oleh sebab itu pembagian jam dalam satu hari pun berubah-ubah berdasarkan musimnya. Sistem waktu itu disebut dengan sistim waktu musiman.
Pada tahun 1956, International Committee for Weights and Measures (CIPM), di bawah mandat yang diberikan oleh General Conference on Weights and Measures (CGPM) kesepuluh pada tahun 1954, menjabarkan detik dalam periode putaran bumi di sekeliling matahari di saat epoch, karena pada saat itu telah disadari bahwa putaran bumi di sumbunya tidak cukup seragam untuk digunakan sebagai standar waktu. Gerakan bumi itu digambarkan di Newcomb's Tables of the Sun (Daftar matahari Newcom), yang mana memberikan rumusan untuk gerakan matahari pada epoch pada tahun 1900 berdasarkan observasi astronomi dibuat selama abad kedelapan belas dan sembilan belas. Dengan demikian detik didefinisikan sebagai 1/31.556.925,9747 bagian dari tahun matahari di tanggal 0 Januari 1900 jam 12 waktu ephemeris.
Definisi ini diratifikasi oleh General Conference on Weights and Measures kesebelas pada tahun 1960. Referensi ke tahun 1900 bukan berarti ini adalah epoch dari waktu hari matahari yang berisikan 86.400 detik. Melainkan ini adalah epoch dari tahun tropis yang berisi 31.556.925,9747 detik dari Waktu Ephemeris. Waktu Ephemeris (Ephemeris Time - ET) telah didefinisikan sebagai ukuran waktu yang memberikan posisi objek angkasa yang terlihat sesuai dengan teori gerakan dinamis Newton. Dengan dibuatnya jam atom, maka ditentukanlah penggunaan jam atom sebagai dasar pendefinisian dari detik, bukan lagi dengan putaran bumi.
Dari hasil kerja beberapa tahun, dua astronomer di United States Naval Observatory (USNO) dan dua astronomer di National Physical Laboratory (Teddington, England) menentukan hubungan dari hyperfine transition frequency atom caesium dan detik ephemeris. Dengan menggunakan metode pengukuran common-view berdasarkan sinyal yang diterima dari stasiun radio WWV, mereka menentukan bahwa gerakan orbital bulan di sekeliling bumi, yang dari mana gerakan jelas matahari bisa diterka, di dalam satuan waktu jam atom. Sebagai hasilnya, pada tahun 1967, General Conference on Weights and Measures mendefinisikan detik dari waktu atom dalam International System of Units (SI) sebagai durasi sepanjang 9.192.631.770 periode dari radiasi sehubungan dengan transisi antara dua hyperfine level dari ground state dari atom caesium-133. Ground state didefinisikan di ketidakadaan (nol) medan magnet. Detik yang didefinisikan tersebut adalah sama dengan detik efemeris.
Definisi detik yang selanjutnya adalah disempurnakan di pertemuan BIPM untuk menyertakan kalimat. Definisi ini mengacu pada atom caesium yang diam pada temperatur 0 K. Dalam praktiknya, ini berarti bahwa realisasi detik dengan ketepatan tinggi harus mengompensasi efek dari radiasi sekelilingnya untuk mencoba mengekstrapolasikan ke harga detik seperti yang disebutkan di atas.

tugas kesembilan



TUGAS Ke 9
Senin, 09 Mei 2016
 
Nama   : Tri Kurniah Lestari
NIM    : 15709251065                                         
Prodi   : S2 P. Matematika (kelas A)

NILAI

Setiap manusia di dunia ini memiliki kualitas dirinya masing-masing. Kualitas tersebut memiliki tingkatan dari yang buruk hingga yang baik. Seseorang akan dikatakan memiliki kualitas baik apabila ada orang lain atau pun dasar yang menunjukkan bahwa hal tersebut benar adanya. Dasar ini akan menjadi sebuah alasan yang kuat untuk memastikan kualitas dari setiap orang. Dalam memperoleh alasan yang tepat diperlukan adanya penilaian atau nilai yang ditetapkan oleh orang lain. Nilai merupakan suatu alat yang menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seorang individu mengenai hal-hal yang benar, baik, atau diinginkan (Wikipedia.org). Dapat dikatakan bahwa nilai merupakan faktor yang penting dalam menentukan alasan yang tepat untuk meninjau kualitas seseorang.
Nilai dalam bahasa dalam bahasa Inggris memiliki arti sebagai value sedangkan nilai dalam bahasa Latin disebut sebagai valere yang bermakna sebagai hal yang berguna,mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. Apabila nilai ditinjau dari segi harkat adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan. Nilai ditinjau dari segi Keistimewaan adalah apa yang dihargai, dinilai tinggi atau dihargai sebagai sesuatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah “tidak bernilai” atau “nilai negative”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan menjadi suatu “nilai negative” atau “tidak bernilai”, Nilai ditinjau dari sudut Ilmu Ekonomi yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-bendsa material, pertama kali mengunakan secara umum kata nilai‟.
Jika dibawa keranah spiritual, nilai pada hakikatnya adalah kumpulan dari prinsip-prinsip hidup, ajaran-ajaran tentang bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya di dunia ini, yang satu prinsip dengan lainnya saling terkait membentuk satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisah-pisahkan. Nilai-nilai keislaman merupakan bagian dari nilai material yang terwujud dalam kenyataan pengalaman rohani dan jasmani.
Pada ranah filsafat, ilmu yang mempelajari tentang nilai disebut sebagai aksiologi.  Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Aksiologi (nilai) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Berikut ini akan dipaparkan mengenai nilai dalam ranah spiritual, nilai menurut para filsuf, dan perkembangan nilai serta sudut pandang nilai dalam sosial, filsafat, dan pembelajaran matematika.
A. Nilai dalam spiritual
Nilai pada hakikatnya merupakan sekumpulan dari prinsip-prinsip hidup atau ajaran-ajaran tentang bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya di dunia ini, dimana setiap prinsipnya saling terkait satu sama lain membentuk satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Nilai-nilai Islam merupakan tingkatan integritas kepribadian yang mencapai tingkat budi (insan kamil). Nilai-nilai Islam bersifat mutlak kebenarannya, universal dan suci. Kebenaran dan kebaikan agama mengatasi rasio, perasaan, keinginan, nafsu-nafsu manusiawi dan mampu melampaui subyektifitas golongan, ras, bangsa, dan stratifikasi sosial.
Nilai-nilai keislaman atau agama mempunyai dua segi yaitu: “segi normatif” dan “segi operatif”. Segi normatif menitik beratkan pada pertimbangan baik buruk, benar salah, hak dan batil, diridhoi atau tidak. Sedangkan segi operatif mengandung lima kategori yang menjadi prinsip standarisasi prilaku manusia, yaitu baik buruk, setengan baik, netral, setengah buruk dan buruk. Yang kemudian dijelaskan sebagai : (1) Wajib (baik), yaitu nilai yang baik yang dilakukan manusia, ketaatan akan memperoleh imbalan jasa (pahala) dan kedurhakaan akan mendapat sanksi; (2) Sunnah (setengah baik), yaitu nilai yang setengah baik dilakukan manusia, sebagai penyempurnaan terhadap nilai yang baik atau wajib sehingga ketaatannya diberi imbalan jasa dan kedurhakaannya tanpa mendapatkan sangsi; (3) Mubah (netral), yaitu nilai yang bersifat netral, mengerjakan atau tidak, tidak akan berdampak imbalan jasa atau sangsi; (4) Makruh (setengah buruk), yaitu nilai yang sepatutnya untuk ditinggalkan. Disamping kurang baik, juga memungkinkan untuk terjadinya kebiasaan yang buruk yang pada akhirnya akan menimbulkan keharaman; (5) Haram (buruk) yaitu nilai yang buruk dilakukan karena membawa kemudharatan dan merugikan diri pribadi maupun ketenteraman pada umumnya, sehingga apabila subyek yang melakukan akan mendapat sangsi, baik langsung (di dunia) atau tidak langsung (di akhirat). (Muhaimin;1993:117)
Kelima nilai diatas memiliki kaitan yang erat satu sama lain dan menjadi dasar perkembangan nilai-nilai yang ada dimasyarakat. Misalnya nilai keislaman yang mengatur suatu nilai etik setiap manusia yang terdiri dari nilai sosial, rasional, individual, biofisik, ekonomi, politikdan estetik. Dalam konsep nilai pada ranah spiritual ini memiliki suatu tatanan atau aturan dimana hal atau nilai yang lebih besar kewajibannya haruslah didahulukan atau ditempatkan lebih tinggi dibandingkan yang lainnya, misalkan pada kewajiban untuk beribadah haruslah lebih tinggi dibandingkan dengan kewajiban melakukan tugas politik, ekonomi, dan sebagainya. Disamping itu masing-masing bidang nilai masih dapat dirinci mana yang esensial dan mana yang instrumental. Misalnya: pakaian jilbab bagi kaum wanita, ini menyangkut dua nilai tersebut, yaitu nilai esensial, dalam hal ini ibadah menutup aurat, sedangkan nilai insaninya (instrumental) adalah nilai estetik, sehingga bentuk, model,warna, cara memakai dan sebagainya dapat bervariasi sepanjang dapat menutup aurat.
Karena nilai bersifat ideal dan tersembunyi dalam setiap kalbu manusia, maka pelaksanaan nilai tersebut harus disertai dengan niat. Niat merupakan I’tikad seseorang yang mengerjakan sesuatu dengan penuh kesadaran. Dalam hal ini I’tikad tersebut diwujudkan dalam aktualisasi nilai-nilai Islam dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam. Dalam proses aktualisasi nilai-nilai Islam dalam pembelajaran tersebut, diwujudkan dalam proses sosialisasi di dalam kelas dan diluar kelas. Pada hakikatnya nilai tersebut tidak selalu disadari oleh manusia. Karena nilai merupakan landasan dan dasar bagi perubahan. Nilai-nilai merupakan suatu daya pendorong dalam hidup seseorang pribadi atau kelompok. Oleh karena itu nilai mempunyai peran penting dalam proses perubahan sosial.
Adapun nilai dalam pandangan spiritual agama kristiani tentunya tidak lepas dari sifat-sifat Allah. Firman Tuhan mengatakan “hendaklah kamu sempurna seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna”. Sebagai ciptaan Tuhan, haruslah dapat mencerminkan dan meneladani kristus melalui kehidupan sehari-hari. Beberapa nilai yang mencerminkan sifat Allah, yaitu (1) Kasih, dapat berarti saling mengasihi sesama, kasih tersebut mendorong kita untuk bertindak dalam kemurahan, kesabaran dan belas kasihan. Kasih itu mengampuni. (1 Kor 12 – jabarkan lingkupan kasih). Kasih juga berarti menegur yang salah, tetapi dengan cara yang baik dan benar (Yoh 4:1-42). (2) Adil dapat berarti tidak berpihak kepada sekelompok manusia tertentu. Roma mengatakan bahwa Allah tidak memandang bulu (favoritism). Keadilan selalu berpihak pada kebenaran. Karena Allah itu adil dan benar. Sebagai manusia kita diciptakan dengan rasa keadilan, sehingga ketika terjadi ketidakadilan, jiwa kita merasakan pemberontakan. Contohnya, bangsa Israel yang berteriak kepada Allah karena perlakuan Firaun yang semena-mena terhadap mereka. Dalam hal ini, Allah yang adil tidak membiarkan ketidakadilan merajalela, sehingga Allah bertindak membebaskan mereka melalui kepemimpinan Musa.  Salomo juga menunjukkan rasa keadilan ketika ia memutuskan kasus perebutan bayi oleh dua orang ibu. (3) Setia (Mat 28:14-30), setiap manusia diajarkan untuk setia pada setiap janji, perkataan maupun perbuatannya ; (4) Rendah Hati (Fil 2:8), manusia diajarkan untuk memiliki rasa rendah hati dan tidak berbangga diri karna sifat berbangga diri (sombong) merupakan penyakit hati yang datangnya dari syaitan.

B. Nilai menurut Pandangan Para Filsuf.
Pada perkembangan sejarahnya, nilai dalam kehidupan telah di mulai pada jaman Mesopotamia dan babilonia. Kehidupan pada jaman babilonia ditandai dengan adanya nilai-nilai budaya dan sistem kemasyarakatan. Seperti membagi masyarakat kedalam tiga kelas, yaitu : (1)  Awilu yaitu kelompok orang bebas dari kelas atas; (2) Muskenu yaitu orang bebas dari kelas bawah; (3) Wardhu atau budak.
Selanjutnya, perkembangan nilai mulai dijabarkan dalam nilai spiritual atau kepercayaan, hal ini terjadi pada masa yunani kuno. Orang Greek (Yunani) dahulunya lebih banyak percaya pada tahayul dan dongeng. Mereka percaya pada dongeng-dongeng ini disebabkan oleh adanya keajaiban dari alam itu sendiri, sehingga terkadang membuat mereka kagum, takut dan heran sehingga dari situlah mereka menganggap bahwa dongeng-dongeng yang dipercaya adalah sangat bernilai bagi kehidupan mereka. Dengan perasaan dan alasan seperti ini mereka menganggap bahwa keajaiban yang terdapat pada alam realitas ini penuh dengan nilai estetika dan etika yakni terdapatnya dewa-dewa serta biduanda dan bidadarinya yang sejenis, serta dengan bermacam-macam jenis dan namanya. Setelah itu lama kelamaan timbul “Fantasi” cetakan pikiran yang menjadi barang peradaban manusia bermula.
Konsep nilai sebagai eksistensi dan esensi alam, manusia dan Tuhan atau yang ada dan mungkin ada, menjadi fokus dalam pengajian para filosof sejak dahulu kala. Antara lain yang pertama sekali mengemukakannya adalah seorang filosof kenamaan Yunani yakni Thales (624-546 SM), thales menanyakan bahwa, apa sebenarnya bahan alam semesta itu?. Pertanyaan ini ditemukan jawabanya oleh Thales bahwa bahan atau sesuatu itu adalah “air”. Secara aksiologis apakah air mempunyai nilai objektif atau subjektif. Mungkinkah air bernilai meskipun tanpa epistemolog dan ontolonginya? Atau apakah air termasuk kategorisasi nilai atau tidak bernilai.
Perkembangan selanjutnya sekitar pada tahun 500-an SM muncul buah pikiran baru dari  Heraklitos, dalam filsafatnya “bahwa sesungguhnya yang ada, yang hakikat ialah gerak dan perubahan (Pantarei)“ (K.Bertens, 1998:35). Penggerak pertama memberikan nilai guna dan manfaat atas segala fungsinya. Ataukah gerak dan perubahan itu juga mengandung nilai atau nihil. Perkembangan kecemerlangan pemikiran kedua filsosof tersebut (Thales-Heraklitos) sungguh telah mempromosikan dan memperlihatkan aksiologi kehebatan akal manusia.
Kemudian, Zeno (lahir tahun 490 SM) sebagai tokoh pertama yang mengajarkan ajaran kebenaran, dan kebenaran itu mampu ditangkap oleh intelek manusia. Teori kebenaran yang diajarkan oleh Zeno adalah bagaimana mencari kebenaran itu melalui metode dialektika (Abdullah, 2002:13). Munculnya metode dialektika ini memicu munculnya ajaran sofisme. Ia berhasil membuktikan bahwa segala yang bergerak, yang ada serta ruang kosong itu semuanya tidak ada.
Selanjutnya, Socrates membentuk suatu kelompok sebagai wadah dialog antara pemuda dengan pemuda lain. Tujuan dari pembentukan kelompok ini adalah mengajarkan tentang bagaimana cara mencari kebenaran dengan menggunakan metode dialektika. Metode dialektika ini dapat diaplikasikan dengan berdasar pada konsep filsafat aksiologi tentang apakah dalam dialektika itu mengandung nilai atau nihil. Hal inilah yang menjadikan dialektika sebagai metode pencarian kebenaran. Metode dialektika bagi Socrates adalah suatu metode yang mengandung nilai manfaat bagi seluruh pencari kebenaran.
Immauel Kant (1724-1804), mulai menggagas nilai etika secara hakiki merupakan etika kewajiban yang tidak menuntut adanya kebahagiaan atau faktor-faktor emosi lainnya dari luar. Kewajiban yang murni berasal dari kehendak kita untuk melakukannya tanpa adanya pemaksaan. Selain itu, etika Kant tidak mengharuskan adanya konsekuensi sebagaimana dalam utilitarianisme, justru Kant lebih mengutamakan adanya konsistensi. Sebagaimana yang  ia katakan “ consistency is the highest obligation of a philosopher and yet the most rarely found”. Kant juga percaya bahwa moral tidak dapat di sandarkan kepada kebahagiaan. Kita tidak akan pernah tahu apa konsekuensi yang terjadi jika kita mengandalkan tindakan kita semata-mata hanya untuk kebahagiaan.
Dalam etika Immanuel ada beberapa hal perlu diperhatikan, diantaranya adalah :
·         Prinsip good will
·         Konsep kewajiban (duty)
·         Imperative hipotesis dan kategoris
·         Prinsip subjektif/ maxim
Moralitas menurut Kant tidak menyangkut hal yang baik dan buruk, melainkan baik pada dirinya sendiri, tanpa pembatasan sama sekali. Kebaikan moral itu baik dari semua sisi, tanpa ada pembatasan sama sekali. Secara mutlak kebaikkan itu tetaplah baik, meskipun berkonsekuensi merugikan orang lain. Yang baik tanpa adanya batasan sama sekali menurutnya hanyalah satu, yakni kehendak baik (good will). Kehendak itu selalu baik dan dalam kebaikkannya tidak tergantung pada sesuatu di luar. Kehendak baik yang dimaksud Kant adalah kehendak yang mau melakukan kewajiban (duty). Manusia bukanlah roh murni, ia juga mahluk alami yang memiliki dorongan dan terikan hawa nafsu, emosi, kecendrungan dan dorongan-dorongan batin. karena itu manusia  tidak hanya tertarik untuk melakukan perbuatan baik, namun ia juga tertarik melakukan perbuatan jahat. Itulah sebabnya akal budi praktis menyatakan diri dalam bentuk kewajiban. Seseorang dikatakan berkehandak baik apabila ia berkehendak untuk melakukan kewajiban.
Sekitar abad ke-19, Secara formal perkembangan aksiologi merupakan cabang filsafat baru yang berkembang sekitar paruh kedua abad ke-19. Nilai sebagai term axiology pertama digunakan oleh Paul Lappy. Aksiologi sama artinya dengan Value Theory atau Theory of Value. Istilah ini digunakan sebelum muncul istilah Aksiologi. Aksiologi juga mempunyai persamaan istilah dengan Waardenfilosofi (Bahasa Belanda) yang berarti filsafat nilai. Filsafat Nilai adalah cabang Filsafat yang membahas nilai secara filosofis/kefilsafatan; mendasar, menyeluruh, sistematis, sampai pada hakikat nilai itu sendiri, untuk mendapatkan kebenaran sesuai dengan kenyataan.

C. Nilai dalam Sosial
Dalam kehidupan sosial, manusia memiliki nilai-nilai atau norma yang mengatur dan mendasari kehidupannya. Hal ini bertujuan agar tatanan kehidupan sosial dimasyarakat semakin baik. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Adanya dua macam nilai tersebut sejalan dengan penegasan pancasila sebagai ideologi terbuka. Perumusan pancasila sebagai dalam pembukaan UUD 1945. Alinea 4 dinyatakan sebagai nilai dasar dan penjabarannya sebagai nilai instrumental. Nilai dasar tidak berubah dan tidak boleh diubah lagi. Betapapun pentingnya nilai dasar yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 itu, sifatnya belum operasional. Artinya kita belum dapat menjabarkannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan UUD 1945 sendiri menunjuk adanya undang-undang sebagai pelaksanaan hukum dasar tertulis itu. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 itu memerlukan penjabaran lebih lanjut. Penjabaran itu sebagai arahan untuk kehidupan nyata. Penjabaran itu kemudian dinamakan Nilai Instrumental.
Sifat-sifat nilai menurut Bambang Daroeso (1986) adalah Sebagai berikut.
   1.      Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu. Misalnya, orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai,tetapi kita tidak bisa mengindra kejujuran itu. Yang dapat kita indra adalah kejujuran itu.
   2.      Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal (das sollen). Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya, nilai keadilan. Semua orang berharap dan mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan nilai keadilan.
   3.      Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya.Misalnya, nilai ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan.

D. Nilai dalam Filsafat
Ilmu yang mempelajari tentang nilai dalam filsafat disebut sebagai aksiologi. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Aksiologi ilmu (nilai) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan  (Kattsoff: 1992). Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil, dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu kedalam praksis.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu:
1.      Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti : baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain, dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika.
2.      Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
3.      Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.

Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi menurut beberapa ahli :
1.      Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.
2.      Menurut Wibisono dalam Surajiyo (2009), aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
3.      Scheleer dan Langeveld memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.  
4.      Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek.
5.      Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
Dari kelima pendapat ahli dapat dikatakan bahwa aksiologi merupakan suatu teori yang mengkaji tentang nilai dan penilaian suatu tindakan baik dilihat dari etik, estetik maupun moralnya.

Dagobert Runes (1963 : 32) mengemukakan beberapa persoalan dengan nilai yang mencakup:  hakikat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, dan status metafisika nilai.
1.      Hakikat Nilai
K. Bertens (2007:142) berpendapat, bahwa  hakikat dari nilai-nilai, yaitu :
a.       Nilai berasal dari kehendak: voluntarisme.
b.      Nilai berasal dari kesenangan: Hedonisme
c.       Nilai berasal dari kepentingan. (Perry)
d.      Nilai berasal dari hal yg lebih disukai (preference). Martineau.
e.       Nilai berasal dari kehendak rasio murni. (I.Kant).

2.      Tipe nilai
Tipe nilai dapat dibedakan antara lain intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental merupakan alat untuk mencapai nilai intrinsik.
Sebagai contoh nilai intrinsik adalah nilai yang dipancarkan oleh suatu lukisan, dan shalat lima waktu merupakan nilai intrinsik dan merupakan suatu perbuatan yang sangat luhur. Nilai instrumentalnya bahwa dengan melaksanakan shalat akan mencegah perbuatan yang keji/jahat yang dilarang oleh Allah dan tujuan akhirnya mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

3.      Kriteria nilai
Kriteria nilai adalah sesuatu yang menjadi ukuran nilai, bagaimana nilai yang baik, dan bagaimana nilai yang tidak baik. Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
a.      Kaum hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang dijabarkan oleh individu atau masyarakat.
b.      Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.
c.       Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolak ukur

4.      Status Metafisika Nilai
Metafisik nilai adalah bagaimana hubungan nilai-nilai tersebut dengan realitas dan dibagi menjadi tiga bagian :
a.     Subjektivisme adalah nilai semata-mata tergantung pengalaman manusia.
b.     Objektivisme logis adalah nilai merupakan hakikat logis atau subsistensi, bebas dari keberadaannya yang dikenal.
c.      Objektivisme metafisik adalah nilai merupakan sesuatu yang ideal bersifat integral, objektif, dan komponen aktif dari kenyataan metafisik. (misalnya: theisme).
Pada filsafat Teori Nilai (aksiologi) juga membahas dua masalah yaitu masalah Etika dan Estetika.
1.      Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “ethos” yang berarti adat kebiasaan tetapi ada yang memakai istilah lain yaitu moral dari bahasa latin yakni jamak dari kata nos yang berarti adat kebiasaan juga. Akan tetapi pengertian etika dan moral ini memiliki perbedaan satu sama lainnya. Etika ini bersifat teori sedangkan moral bersifat praktek. Etika mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak sedangkan moral mempersoalkan bagaimana semestinya tindakan manusia itu. Etika hanya mempertimbangkan tentang baik dan buruk suatu hal dan harus berlaku umum.
Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral (Jujun S. Suriasumantri,  1998 : 235).
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi.
a.       Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan.
b.      Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
c.      Utilitarisme,  mengatakan bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati.
d.    Deontologi adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.

2.      Estetika
Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu. Dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni.

Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu :
1.      Nilai subjektif atau objektif.
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.
2.      Nilai absolute atau berubah.
Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abash sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relative sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.

Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan hierarki nilai yaitu:
1.      kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada non spiritual (nilai material). Mereka menempatkan nilai religi pada tingkat yang tinggi karena nilai religi membantu manusia dalam menemukan akhir hidupnya, dan merupakan kesatuan dengan nilai spiritual.
2.     kaum realis juga berpandangan bahwa terdapat tingkatan nilai, dimana mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia realitas objektif, hukum alam dan aturan berfikir logis.
3.      kaum pragmatis menolak tingkatan nilai secara pasti. Menurut mereka suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya apabila memuaskan kebutuhan yang penting dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitive terhadap nilai-nilai yang meghargai masyarakat.
Aksiologi ilmu pengetahuan sebagai strategi untuk mengantisipasi perkembangan dan teknologi (IPTEK) tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi antara lain :
1.      Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan menemukan kebenaran yang hakiki.
2.      Dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara etis, tidak mengubah kodrat manusia, dan tidak merendahkan martabat manusia.
3.      Pengembangan ilmu pengetahuan diarahkan untuk dapat meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta memberikan keseimbangan alam lewat pemanfaatan ilmu.

Dalam aksiologi juga terdapat berbagai macam pendekatan, pendekatan tersebut dibagi kedalam tiga macam cara, yaitu :
1.      Nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberkan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka.
2.      Nilai-Nilai merupakan kenyataan-kenyataan yang ditinjau dari segi ontologi namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.
3.      Nilai-Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.

E. Nilai dalam Pembelajaran matematika
Dalam pembelajaran matematika, nilai digunakan untuk mengembang kualitas peserta didik menjadi lebih baik. Nilai memiliki klasifikasi yang dibuat dengan dasar atau kriteria dalam konteks pendidikan yaitu dari tujuan pendidikan matematika itu sendiri. Untuk itu, kita perlu mengetahui tujuan umum diberikannya matematika di jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Umum, yaitu :
    1.         Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efisien
    2.         Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu  pengetahuan
Dalam pembelajaran matematika memili tiga macam nilai yaitu nilai praktis, nilai disiplin, dan nilai budaya. Berikut ini akan dijabarkan penjelasan mengenai ketiga nilai tersebut :
a.       Nilai Praktis
Matematika sebagai salah satu ilmu dasar baik aspek terapan maupun aspek penalarannya, mempunyai peranan yang penting dalam upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti bahwa sampai pada batas tertentu matematika perlu dikuasai oleh segenap warga negara Indonesia, baik penerapannya maupun pola pikirnya. Matematika sekolah yang merupakan bagian dari matemaika yang dipilih atas dasar kepentingan pengembangan kemampuan dan kepribadian  siswa serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu selalu dapat sejalan dengan tuntutan kepentingan siswa menghadapi tantangan kehidupan masa depan.
Dalam masyarakat, banyak kita jumpai orang-orang yang hidup dalam suasana cukup dan sejahtera secara material, meskipun mereka itu kadang-kadang tidak dapat membaca atau menulis. Bahkan banyak di antara mereka mengendalikan bidang usaha bisnis yang besar. Tetapi, orang-orang yang tidak dapat membilang, menghitung(menambah, mengurangi, mengalikan, membagi), menimbang, mengukur, dan membeli barang akan sukar untuk hidup berkecukupan dan sejahtera. Untuk membentuk anak yang siap dalam hidupnya, membaca, menulis dan berhitung (calistung) adalah ditekankan untuk dikuasai oleh peserta didik tingkat Sekolah Dasar. Membaca dan menulis untuk melatih peserta didik dalam berkomunikasi sedang berhitung untuk melatih peserta didik dalam penalaran.
Pada saat ini, pengetahuan dasar tentang matematika serta keterampilan menggunakannya merupakan kebutuhan penting bagi setiap orang. Setiap manusia dari berbagai lapisan masyarakat pasti memerlukan matematika. Apalagi orang-orang yang berprofesi sebagai pengusaha, pedagang, bendaharawan, insinyur perencanaan, dan lain sebagainya tidak mungkin dapat melaksanakan tugas dengan baik tanpa mempunyai pengetahuan matematika.Pekerjaan bidang perdagangan, pertokoan, pertukangan, asuransi, dan lain-lain secara langsung atau tidak langsung memerlukan matematika. Bantuan matematika sebagai bekal untuk mempelajari berbagai ilmu lain amat besar.
Menyadari banyak dan besarnya bantuan matematika serta kegunaannya dalam berbagai bidang, Napoleon dalam Kulbir (1971) sampai berkata “Perkembangan dan kemajuan matematika tidak terlepas dari tingkat kemakmuran negara tersebut”. Selanjutnya Kulbir mengatakan bahwa kericuhan, kekacauan, malapetaka, dan kehancuran akan terjadi andaikata semua orang di dunia ini kehilangan pengetahuan matematikanya untuk satu hari saja.

b.      Nilai Disiplin
Matematika adalah ilmu yang eksak, benar dan senantiasa menuju sasaran sehingga dapat menumbuhkan disiplin jiwa. Untuk menyatakan kebenaran atau kesalahan suatu pernyataan, para peserta didik harus mempunyai alasan yang tepat. Matematika dapat mengembangkan daya nalar, daya pikir peserta didik, dan merupakan bekal utama untuk mencapai keberhasilan studi lanjut, karena dalam studinya peserta didik tidak dapat hanya mengandalkan ingatannya saja. Keberhasilan perlu didukung oleh penalaran dan pemikiran yang baik Penalaran dalam matematika mempunyai ciri-ciri yang amat baik dan cocok untuk melatih peserta didik. Oleh karena itu penalaran dan pemikiran diusahakan agar dapat berkembang menjadi kebiasaan dalam perilaku peserta didik. Selanjutnya, nilai disiplin mempunyai berbagai ciri antara lain: kesederhanaan, ketepatan, kepastian hasil, keaslian, kemiripan dengan penalaran kehidupan sehari-hari, dan pemeriksaan atau pengujian hasil.
1)      Kesederhanaan
Para peserta didik dilatih bernalar dan berpikir dengan sederhana. Mereka dilatih membuat pernyataan atau menyatakan pendapatnya melalui kalimat yang singkat, sederhana, dan mudah dimengerti. Peserta didik dilatih untuk mengubah kalimat sehari-hari menjadi kalimat matematika atau kalimat bilangan sehingga mudah diselesaikan. Matematika mempunyai sifat hirarkis, dimulai dari yang sederhana dan bergerak maju menuju yang lebih kompleks, dari yang sudah diketahui menuju ke hal yang tidak diketahui atau ditanyakan serta bersifat makin dalam, yang kita kenal dengan metode spiral. Orang dapat memahami dengan lebih mudah karena hal-hal sudah tersusun dengan urutan yang dimulai dari bentuk sederhana menuju ke bentuk yang semakin kompleks. Dengan demikian, jika orang mempelajari matematika dalam jangka waktu yang memadai, sifat itu dapat tumbuh menjadi kebiasaan dalam kehidupannya. 

2)      Ketepatan
Orang dapat bernalar, berpikir, atau menyatakan pendapatnya sesuai dengan pengertian pribadi. Matematika tidak akan dapat dipelajari dengan baik tanpa ketepatan dan kecermatan pengertian. Ketepatan dan kecermatan merupakan sifat yang melekat erat pada matematika. Sifat ini diharapkan dapat meresap dan mendarah daging pada diri siwa sehingga mereka senantiasa dapat bertindak dengan tepat dan cermat.
3)      Kepastian hasil
Secara umum terdapat dua keadaan, yaitu benar atau salah. Dua kejadian ini tidak memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat antara pengajar dan yang diajar. Peserta didik senantiasa dapat memeriksa kembali hasil pekerjaannya sehingga tahu dengan pasti, benar atau salah. Matematika mendorong peserta didik untuk menghadapi sendiri kesulitan yang dihadapinya dan menyelesaikannya dengan penuh keyakinan Kepastian hasil dan keberhasilan peserta didik menyelesaikan sendiri suatu masalah dapat menimbulkan rasa percaya diri serta kegembiraan. Kepercayaan diri dan kegembiraan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi merupakan kunci keberhasilan dalam kehidupannya di kemudian hari. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan belajar matematika tertanamlah rasa percaya diri karena peserta didik mengetahui hasil pekerjaaannya dengan pasti.
4)      Keaslian (Orisinalitas)
Pada mata pelajaran lain peserta didik dapat mengandalkan kemampuan menghafalkan, yang berarti hanya menerima pendapat orang lain. Dalam matematika peserta didik tidak dapat hanya menggantungkan diri pada kemampuan menghafal saja, meskipun harus diakui bahwa menghafal merupakan salah satu unsur yang penting. Dalam belajar matematika, terutama dubutuhkan keaslian pemikiran dan kecerdasan bernalar agar studi peserta didik dapat berhasil dengan baik. Hanya dengan memiliki kemampuan yang orisinal, peserta didik dapat menyelesaikan soal-soal yang baru atau yang berbeda dengan yang telah dijelaskan gurunya. Kalau diproyeksikan ke masa depan, dengan memiliki sifat ini peserta didik akan mampu menanggulangi berbagai masalah yang dihadapi dengan penuh percaya diri.
5)      Kemiripan dengan penalaran kehidupan sehari-hari
Dalam kehidupan sehari-hari, jika kita harus melaksanakan tugas atau harus memecahkan suatu masalah, maka kita harus mengetahui dengan pasti permasalahannya. Dalam matematika, peserta didik hanya akan dapat menyelesaikan sebuah soal dengan baik bila ia tahu dengan tepat persoalannya secara utuh. Ini berarti bahwa ia harus tahu dengan tepat apa yang diketahui dan apa yang harus dicari atau dibuktikan. Kebiasaan ini dapat membantu peserta didik dalam menyelesaikan masalah sehari-hari yang dihadapinya.
6)      Pemeriksaan atau pengujian hasil
Dalam matematika, peserta didik dibiasakan untuk memeriksa atau menguji kembali hasil kerjanya. seperti yang disarankan oleh Polya (1973) dalam menyusun empat strategi pemecahan masalah yaitu: memahami soalnya, merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan pemecahan masalah dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh. Hal ini penting karena kepastian tentang apa yang telah dicapainya dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan kegembiraan serta kepuasan. Pengujian kembali hasil yang dicapai dapat menanamkan kebiasaan untuk mengajukan krtitik dan penilaian terhadap dirinya sendiri. Ia akan merasa puas karena tahu dengan pasti bahwa hasil itu benar. Sebaliknya, jika hasilnya salah, maka peserta didik juga akan merasa puas karena tahu letak kesalahan yang telah dilakukannya, sehingga dia tahu dengan tepat bagian yang harus dipelajari dengan lebih baik lagi.

c.       Nilai Budaya
Matematika adalah hasil ciptaan orang atau budaya manusia. Orang menciptakan matematika karena desakan kebutuhannya untuk mempermudah memecahkan masalah yang mereka hadapi. Untuk menjawab masalah hitung-menghitung serta pertanyaan tentang banyak, besar, panjang, jauh, jumlah, selisih, dan sebagainya, diciptakanlah aritmetika. Untuk mempermudah pemecahan masalah artimetika diciptakanlah aljabar, untuk memecahkan masalah pengukuran, dan bentuk diciptakanlah geometri, dan lain sebagainya. Kesemuanya merupakan hasil budaya manusia. Peradaban manusia dalam abad milenium sekarang ini ditandai dengan kemajuan berbagai bidang, antara lain ilmu pengetahuan dan teknologi(IPTEK), perdagangan, pertanian, penerbangan, pelayaran, penelitian, dan sebagainya.; semuanya itu juga merupakan hasil budaya manusia. Kalau ditelusuri satu demi satu, kemajuan berbagai bidang itu memerlukan peran matematika. Matematika adalah warisan budaya yang kaya akan berbagai nilai itu harus kita miliki dan kita kembangkan, dan selanjutnya kita wariskan kepada generasi muda kita. Mempelajari dan mengajarkan matematika merupakan salah satu pengejawantahan proses pewarisan kebudayaan tersebut Nilai-nilai penting yang terkandung dalam kebudayaan diantaranya adalah pengembangan daya konsentrasi, sifat ekonomis, kemampuan menyampaikan pendapat, percaya kepada diri sendiri, motivasi untuk menemukan, motivasi untuk  terus belajar dan membaca, serta kemampuan bekerja keras.
1)      Pengembangan daya konsentrasi
Pada waktu seseorang menghadapi dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, ia perlu memusatkan pikiran dan berkonsentrasi. Dalam mempelajari matematika selalu dilakukan pemikiran yang bulat dan konsentrasi penuh. Jika tidak demikian, hasilnya akan kurang memuaskan. Tanpa konsentrasi yang baik, peserta didik akan sulit dalam studinya. Kalau konsentrasi terganggu, pikiran peserta didik menjadi tak menentu arahnya sehingga ia akan sulit belajar, apalagi belajar matematika. Peserta didik yang dapat berkonsentrasi mempunyai harapan yang baik untuk menyelesaikan studinya. Ia juga mempunyai harapan yang baik untuk berhasil dalam kehidupannya kelak.
Latihan berkonsentrasi ini diperoleh peserta didik melalui belajar matematika secara teratur.sehingga orang dapat menghilangkan atau menyembuhkan sikap mentalnya yang kurang baik dan menanamkan kebiasaan untuk menaruh perhatian dengan tertib.
2)      Sifat ekonomis
Hemat dan ekonomis merupakan salah satu prasyarat bagi seseorang untuk dapat hidup sejahtera. Dalam matematika, orang dilatih untuk senantiasa ekonomis dan hemat, dan hemat tidak berarti pelit. Peserta didik selalu dilatih untuk membuat pernyataan yang singkat, tepat, dan cermat. Penggunaan berbagai macam simbol dalam matematika merupakan gambaran yang jelas tentang adanya latihan dan usaha penghematan. Masalah dalam kehidupan sehari-hari atau sering disebut soal cerita diusahakan diubah dulu menjadi model matematika atau kalimat matematika, kemudian diselesaikan secara matematika selanjutnya dikembalikan lagi pada permasalahan semula. Betapa susahnya orang mengemukakan pendapat dalam matematika jika selalu harus menggunakan kalimat atau kata-kata tanpa menggunakan simbol-simbol, dan orang yang diajak berkomunikasipun akan bingung atau tidak mengerti. Contoh, pernyataan “Kuadrat suku dua sama dengan jumlah kuadrat masing-masing suku ditambah kelipatan dua dari hasil kali kedua suku” akan lebih mudah jika disingkat dengan simbol “ (a + b)2 = a2 + b2+ 2ab.
3)      Kemampuan menyampaikan pendapat
Kemampuan menyampaikan pendapat dengan jelas dan cermat dalam kehidupan sehari-hari amat perlu. Kemampuan ini merupakan modal yang amat bernilai bagi seseorang.
Badan PBB urusan kesehatan (WHO) menekankan adanya pendidikan keterampilan hidup yang mencakup psikososial, antara lain perlu dikembangkan masalah komunikasi. Meramu ide dan mengkomunikasikannya kepada orang lain dengan sejelas-jelasnya merupakan salah satu keterampilan yang penting dalam hidup kita. Jika keterampilan berkomunikasi kita baik, dapat diharapkan bahwa hubungan kita dengan orang lain juga akan baik.
Dalam matematika, peserta didik dilatih untuk selalu cermat memilih dan menggunakan kata-kata dan istilah yang tepat. Selama belajar matematika peserta didik mendapat tempaan untuk dapat menyampaikan pendapatnya dengan singkat, jelas, tepat dan cermat. Dengan ditunjang model-model pembelajaran yang tepat, antara lain model pebelajaran kooperatif, matematika merupakan alat yang tepat untuk melatih dan meningkatkan kemampuan dan keterampilan menyampaikan pendapat bagi seseorang.
4)      Percaya kepada diri sendiri
Keberhasilan peserta didik dalam menyelesaikan soal dapat menimbulkan kepuasan, kegembiraan, dan juga kepercayaan pada diri sendiri. Dalam matematika, terdapat kesempatan yang sangat luas bagi peserta didik untuk menyelesaikan berbagai macam bentuk soal. Kemampuan dan kemauan belajar sendiri merupakan hal yang penting. Hal ini dapat menanamkan kebiasaan peserta didik untuk bersikap mandiri dan percaya diri.
5)      Motivasi untuk menemukan
Dalam kehidupan sehari-hari orang senantiasa menjumpai berbagai masalah yang harus dipecahkan. Agar masalah itu dapat dipecahkan, orang harus dapat menemukan unsur penyebab timbulnya masalah, kemudian mencari cara serta jalan untuk memecahkannya. Pada waktu menyelesaikan soal matematika, pertama ia harus dapat menemukan apa yang diketahui dan apa yang harus dicari. Ke dua, ia harus dapat menemukan dalil, rumus, sifat, hukum yang dapat digunakan sebagai landasan atau alat untuk menyelesaikan soal itu. Ke tiga, ia harus menemukan cara atau jalan yang paling tepat, cermat dan jelas untuk menyelesaikan. Ke empat, ia harus menemukan cara atau jalan untuk menguji kembali hasil penyelesaiannya. Dalam menemukan aturan umum, peserta didik diajak untuk menemukan sendiri aturan itu dengan sedikit bantuan guru atau sering disebut dengan metode penemuan terbimbing. Dengan demikian, mata pelajaran matematika merupakan sarana yang tepat untuk menanamkan dan memupuk rasa keingintahuan atau motivasi untuk menemukan.

6)      Motivasi untuk terus belajar dan membaca
Dewasa ini, perkembangan matematika sudah sedemikian luasnya, sedangkan kemampuan manusia terbatas sehingga betapapun pandainya seseorang tidak mungkin dapat menguasai matematika secara menyeluruh. Matematika telah memberi sumbangan dan kemudahan kepada berbagai ilmu pengetahuan lain khususnya dan juga kepada umat manusia. Hal ini mendorong orang untuk dapat memiliki, mewarisi, dan mewariskan kebudayaan yang sangat berguna ini sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Upaya yang dapat dan perlu dilakukan untuk mencapai tujuan itu adalah terus belajar dan membaca.
7)      Nilai Kesepakatan
Setiap orang yang mempelajari matematika secara sadar atau tidak sadar telah menggunakan kesepakatan-kesepakatan tertentu. Kesepakatan ini terdapat dalam matematika yang rendah maupun yang tinggi, dapat berupa simbol, istilah, definisi, ataupun aksioma.
Dalam kehidupan sehari-hari, kadang tanpa kita sadari ada banyak kesepakatan berupa norma-norma baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang harus dipatuhi oleh warga masyarakat dalam lingkungan tertentu. Jika seseorang berperilaku tidak sesuai dengan suatu kesepakatan dalam lingkungan tertentu, pastilah akan dianggap melanggar aturan yang tentu akan mendapatkan sangsi tertentu. Seseorang yang telah dibiasakan belajar matematika yang penuh dengan kesepakatan yang harus ditaati, pastinya akan mudah memahami perlunya kesepakatan dalam hubungan masyarakat dan mempunyai kesadaran yang lebih tinggi untuk mentaati kesepakatan tersebut. Nilai inilah yang dapat ditanamkan dalam pembelajaran matematika
8)      Kemampuan bekerja keras
Dalam dunia dan masyarakat yang makin maju dan makin kompleks ini, orang dituntut untuk bekerja dan berusaha keras. Tututan itu merupakan sarana dan modal yang penting untuk mencapai tujuan seseorang. Selama ini peserta didik mempelajari matematika, ia telah mendapat latihan secara teratur tentang hal tersebut. Jika peserta didik ingin mempelajari matematika dengan hasil baik, ia harus memusatkan pikiran dan berkonsentrasi serta bekerja keras. Jadi, bila peserta didik mempelajari matematika dengan sepenuh hati, ia telah mendapat latihan atau berlatih bekerja keras.
Bagan Alur dan Time Line perkembangan Nilai:



Daftar Pustaka
https://www.academia.edu/9208343/nilai-nilai_dalam_pembelajaran_matematika
http://newjoesafira.com/2012/05/pengertian-dan-konsep-nilai-dalam-islam.html
http://mustanginbuchory89.com/2015/06/penanaman-nilai-nilai-agama-islam.html
http://file.upi.edu/direktori/fpbs/jur._pend._bahasa_arab/195204141980021-dudung_rahmat_hidayat/hakikat_dan_makna_nilai.pdf
https://www.academia.edu/7684760/makalah_filsafat_ilmu_hakikat_nilai_deontologi_dan_teleologi_oleh_imam_farih_nim._21391106806_jurusan_pendidkan_agama_islam_program_pasca_sarjana_uin_suska_riau_2014
https://id.wikipedia.org/wiki/Nilai
http://uzey.co.id/2009/09/pengertian-nilai.html
http://haris-berbagi.co.id/2010/11/aksiologi-filsafat-nilai-value.html
https://ruth712.wordpress.com/2010/08/11/nilai-dan-norma-kristiani-bab-2-kelas-11/
https://heavenkant.wordpress.com/2013/02/12/etika-immanuel-kant/

Translate